Kamis, 08 Maret 2012

SEJARAH SINGKAT GERAKAN PRAMUKA



“DARI GERAKAN KEPANDUAN KE GERAKAN PRAMUKA”

I.          PENDAHULUAN
Sejarah merupakan cermin bagi keadaan sekarang. Sejarah merupakan sumber pemikiran dan pembelajaran dalam mengembangkan tujuan-tujuan yang akan datang.

II.       MATERI POKOK
1.      Masa Hindia Belanda   
a.  Tahun 1908, Mayor Jenderal Robert Baden Powell melancarkan suatu gagasan tentang pendidikan luar sekolah  untuk kanak-anak Inggris, dengan tujuan agar menjadi manusia Inggris, warga Inggris dan anggota masyarakat Inggris yang baik sesuai dengan keadaan dan kebutuhan kerajaaan Inggris Raya ketika itu.
b.   Untuk itu beliau mengarang sebuah buku yang terkenal yaitu “Scouting for Boys”. Buku ini berisi pengalaman beliau dan latihan apa yang diperlukan yang diperlukan para Pramuka.
c.  Gagasan Boden Powell dinilai cemerlang dan sangat menarik sehingga banyak diikuti dan didirikan kepanduan di negara-negara lain. Diantaranya di negeri Belanda dengan nama Padvinder atau Padvinderij.
d.      Oleh orang Belanda, gagasan  kepanduan di bawa dan dilaksanakan di sini (Nederlands OOst Indie), dengan mendirikan Nederland Indischie Padvinders Vereeniging (NIPV) atau Persatuan Pandu-pandu Hindia-Belanda.
e.  Oleh pemimpin-pemimpin di dalam pergerakan nasional, gagasan Baden Powell dimabil alih dengan membentuk organisasi-organisasi kepanduan yang bertujuan membentuk manusia Indonesia yang baik yaitu sebagai kader Pergerakan Nasional. Pada saat itu mulailah bermunculan organisasi-organisasi kepanduan diantaranya Javanse Padvinders  Organizatie (JPO), Jong Java Padvinderij (JJP), National Islamitje Padvinderij (NATIPIJ), Sarikat Islam Afdeling Padvinderij (SIAP), Hizbul Wathan (HW) dan lain sebagainya.
f.   Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada Kongres Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, benar-benar telah menjiwai gerakan kepanduan nasional Indonesia untuk lebih bergerak maju. Pemerintah Hindia Belanda melarang penggunaan istilah Padvinder dan Padvinderij untuk organjisasi kepanduan di luar NIPV.
g.      Dengan meningkatkan kesadaran nasional Indonesia, maka timbullah niat untuk persatuan antara organisasi-organisasi kepanduan. Pada tahun 1930 muncullah Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) yang merupakan gabungan dari organisasi kepanduan  Indonesische Padvinders Organizatie (INPO), Pandu Kesultanan (PK) dan Pandu Pemuda Sumatera (PPS). Pada tahun 1931  terbentuk federasi kepanduan dengan nama Persatuan Antar Pandu-pandu Indonesia (PAPI), yang kemudian berubah menjadi Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia (BPPKI) pada tahun 1938.
2.      Masa Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang (PD II), penguasa Jepang di Indonesia melarang keberadaan organisasi kepanduan di Indonesia di larang adanya. Tokoh-tokoh kepanduan banyak yang masuk dalam organisasi Seinendan, Keibodan dan Pembela Tanah Air (PETA).

3.      Masa Perang Kemerdekaan
Dengan diproklamasikan kemerdekaan 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia bahu membahu mempertahankan kemerdekaan.  Seiring dengan itu, pada tanggal 28 Desember 1945 di Surakarta berdiri Pandu Rakyat Indonesia (PARI) sebagai satu-satunya organisasi  kepanduan di wilayah Republik Indonesia.

4.      Masa Pasca Perang Kemerdekaan hingga 1961
a.       Setelah pengakuan kedaulatan NKRI, maka mulailah Indonesia memasuki masa pemerintahan yang liberal. Sesuai dengan situasi pemerintahan tersebut maka bermunculan organisasi kepanduan seperti HW, SIAP, Pandu Islam Indonesia, Pandu Kristen, Pandu Katholik, Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) dan lain-lain.
b.      Menjelang tahun 1961, kepanduan Indonesia telah terpecah-pecah menjadi lebih dari 100 organisasi kepanduan, suatu keadaan yang terasa lemah meski tebagi ke dalam 3 federasi organisasi kepanduan; satu federasi kepanduan putra dan dua federasi kepanduan putri:
·         Ikatan Pandu Indonesia (IPINDO), 13 September 1951.
·         Persatuan Organisasi Pandu Putri Indonesia (POPPINDO), 1954.
·         Perserikatan Kepanduan Putri Indonesia.
Keadaan ini membuat lemah organisasi kepanduan, ketiga federasi tersebut melebur menjadi satu federasi: Persatuan Kepanduan Indonesia (PERKINDO). Namun yang masuk dalam federasi ini hanya berkisar 60 buah dari 100 buah organisasi kepanduan, dan hanya berjumlah 500.000 anggota.
Disamping itu, sebagian dari 60 organisasi kepanduan anggota PERKINDO tersebut berada dibawah organisasi politik atau organisasi massa tetap saling berhadap-hadapan berlawanan satu sama lain, sehingga tetap melemahkan gerakan kepanduan Indonesia.
c.       Melihat keadaan tersebut, PERKINDO membentuk panitia untuk memikirkan jalan keluarnya. Panitia menyimpulkan bahwa kepanduan  lemah dan terpecah-pecah, terpaku dalam cengkeraman gaya lama yang tradisional daripada kepanduan Inggris, pembawaan dari luar negeri. Hal ini berakibat bahwa pendidikan yang diselenggarakan oleh gerakan kepanduan Indonesia belum disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan bangsa dan masyarakat Indonesia, maka ketika itu gerakan kepanduan kurang memperoleh tanggapan dari bangsa dan masyarakat Indonesia. Kepanduan hanya berjalan di kota-kota besar dan di situpun hanya terdapat pada lingkungan orang-orang yang sedikit banyak sudah berpendidikan barat.
d.      Kondisi lemah gerakan kepanduan Indonesia dimanfaatkan oleh pihak komunis sebagai alasan untuk memaksa gerakan kepanduan Indonesia menjadi Gerakan Pioner Muda seperti yang terdapat di negara-negara komunis.
e.       Kekuatan Pancasila di dalam PERKINDO berusaha menentangnya, dengan bantuan Perdana Menteri Djuanda maka tercapailah perjuangan dengan menghasilkan Keputusan Presiden RI No. 238 Tahun 1961 tentang Gerakan Pramuka, pada tanggal 20 Mei 1961 yang  ditandatangani oleh
Ir. Djuanda selaku Pejabat Presiden RI, karena Presiden Sukarno sedang berkunjung ke negeri Jepang.

5.      Masa 1961-1999

Dengan Keppres No. 238 Tahun 1961, Gerakan Kepanduan Indonesia mulai dengan keadaan baru dengan nama Gerakan Praja Muda Karana atau Gerakan Pramuka.
a.       Semua organisasi kepanduan melebur ke dalam Gerakan Pramuka, menetapkan   Pancasila sebagai dasar Gerakan Pramuka.
b.      Gerakan Pramuka adalah suatu perkumpulan yang berstatus non-governmental (bukan badan pemerintah) yang berbentuk kesatuan. Gerakan Pramuka diselenggarakan menurut jalan aturan demokrasi, dengan pengurus (Kwartir Nasional, Kwartir Daerah, Kwartir Cabang dan Kwartir Ranting) yang dipilih dalam musyawarah.
c.       Gerakan Pramuka sebagai satu-satunya badan di wilayah NKRI yang diperbolehkan menyelenggarakan kepramukaan bagi anak dan pemuda Indonesia; organisasi lain yang menyerupai, yang sama dan  sama sifatnya dengan Gerakan Pramuka dilarang adanya.
d.      Gerakan Pramuka bertujuan mendidik anak dan pemuda Indonesia dengan prinsip dasar metodik pendidikan kepramukaan yang pelaksanaanya diserasikan dengan keadaan, kepentingan dan perkembangan  bangsa dan masyarakat Indonesia agar menjadi manusia Indonesia yang baik dan anggota masyarakat yang berguna bagi pembangunan bangsa dan negara.
e.       Prinsip-prinsip Dasar Metodik Pendidikan Kepramukaan sebagaimana  dirumuskan oleh Baden Powell tetap dipegang, akan tetapi pelaksanaanya diserasikan dengan keadaan, kepentingan dan perkembangan  bangsa dan masyarakat Indonesia; dengan menyesuaikan dan diserasikan dengan keadaan dan kebutuhan regional ataupun lokal di masing-masing wilayah di Indonesia ternyata mampu membawa banyak perubahan yang mampu membawa Gerakan Pramuka mengembangkan kegiatannya secara meluas.
f.       Gerakan Pramuka ternyata lebih kuat organisasinya dan memperoleh tanggapan luas dari masyarakat, sehingga dalam waktu singkat organisasinya telah berkembang dari kota-kota hingga ke kampong dan desa-desa, jumlah anggotanya meningkat dengan pesat.
g.      Kemajuan pesat tersebut tak lepas dari system Majelis Pembimbing (Mabi) yang dijalankan oleh Gerakan Pramuka di setiap tingkat, baik dari tingkat nasional hingga ke tingkat gugusdepan (Gudep).
h.      Mengingat bahwa 80% penduduk Indonesia tinggal di desa dan 75% adalah keluarga petani, maka pada tahun 1961 Kwartir Nasional menganjurkan supaya para Pramuka menyelenggarakan kegiatan di bidang pembangunan masyarakat desa.
i.        Anjuran tersebut dilaksanakan terutama di Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan Jawa Barat telah mampu menarik perhatian pemimpin-pemimpin masyarakat Indonesia. Pada tahun 1966, Menteri Pertanian dan Ketua Kwartir Nasional mengeluarkan instruksi bersama tentang pembentukan Satuan Karya Pramuka (Saka) Tarunabumi. Saka Tarunabumi dibentuk dan diselenggarakan khusus untuk memungkinkan adanya kegiatan Pramuka di bidang pendidikan cinta pembangunan pertanian dan pembangunan masyarakat desa secara lebih nyata dan intensif.
Kegiatan Saka Tarunabumi ternyata telah membawa pembaharuan, bahkan membawa semangat untuk mengusahakan penemuan-penemuan baru (inovasi) pada pemuda desa yang selanjutnya mampu mepengaruhi seluruh masyarakat desa.
j.        Model pembentukan Saka Tarunabumi kemudian berkembang menjadi pembentukan Saka lainnya seperti Saka Dirgantara, Saka Bahari dan Saka Bhayangkara.
Anggota Saka-saka tersebut terdiri dari para Pramuka Penegak dan Pramuka Pandega yang memiliki minat di bidangnya. Pramuka Siaga dan Penggalang tidak ikut dalam Saka tersebut. Para Pramuka Penegak dan Pandega yang tergabung dalam Saka menjadi instruktur di biangnya bagi adik-adik dan rekan-rekannya di gudep.
k.       Perluasan kegiatan Gerakan Pramuka yang berkembang pesat hingga ke desa-desa, terutama kegiatan di bidang pembangunan pertanian dan masyarakat desa, dan pembentukan Saka Tarunabumi menarik perhatian badan internasional seperti FAO, UNICEF, UNESCO, ILO dan Boys Scout World Bureau.

6.      Masa 1999 – sekarang
a.       Perkembangan politik negara dan pemerintahan mengalami perubahan dengan adanya Reformasi, turut mempengaruhi perkembangan masyarakat secara menyeluruh.
b.      Untuk pertamakalinya pemilihan KaKwarnas dengan Pemilihan Langsung oleh Kwartir Daerah pada Munas 2003 di Jakarta.
c.       Pencanangan Revitaliasi Gerakan Pramuka oleh Presiden RI selaku Ka Mabinas
d.      Pembentukan Saka Wirakartika
e.       RUU Kepramukaan

III.    PENUTUP
Sejarah Gerakan Pramuka merupakan sumber pemikiran dan pembelajaran pengembangan organisasi, agar terus digali untuk memberikan sumbangsih kepada bangsa dan negara.

Reverensi & Bahan Pustaka.
1.      Patah tumbuh hilang berganti, 40 Tahun Gerakan Pramuka, Kwarnas …
Buku Kursus Pembina Pramuka Mahir Tingkat Dasar (KMD), Kwarnas….

Senin, 27 Februari 2012

Penggunaan metode demonstrasi pada pembelajaran IPS dalam meningkatkan prestasi belajar siswa


BAB I
PENDAHULUAN

      A.    Latar Belakang
Sekolah  menengah pertama  merupakan  pendidikan formal  yang ada di Indonesia. Salah satu bidang studi pokok yang erat hubungannya dengan pembekalan kompentensi siswa sekolah menengah pertama adalah ilmu pengetahuan sosial karena dalam mempelajari IPS peserta didik dibina dan diberi langsung untuk dapat mengembangkan kopetensi diri dalam memahami lingkungan sekitar.
Ilmu pengetahuan sosial (IPS) merupakan mata pelajaran yang konsep dasar dari berbagai ilmu-ilmu sosial yang disusun melalui pendekatan dan pisikologis serta kelayakan dan kebermaknaan bagi siswa dan kehidupannya atau mata pelajaran IPS  memberikan sumbangan berupa konsep-konsep ilmu yang diubah menjadi ilmu pengetahuan.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka pendidikan merupakan faktor yang penting dalam pembangunan moral dan kemampuan suatu bangsa cerdas trampil dan berbudaya.
Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 yaitu:

Minggu, 26 Februari 2012

Pengruh Partisipasi Orang Tua Terhadap Prestasi Belajar Siswa


BAB II
Landasan Teori

1.         Pengertian Partisipasi
Partisipasi adalah ikut serta mengikuti, jadi yang dimaksud dengan partisipasi orang tua dalam penulisan di sini yaitu orang tua ikut serta dalam meningkatkan prestasi anaknya. Dalam arti, usaha orang tua ikut membantu anaknya dalam belajar. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh orang tua dalam membantu anaknya, yaitu:
1.      Memberikan perhatian pada pelajaran anaknya;
2.      Bercakap-cakap dan bercerita;
3.      Menciptakan bacaan;
4.      Menulis pengalaman dalam buku harian
5.      Membina keluarga membaca;
6.      Memperhatikan kelemahan anak dalam membaca.[1]
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional berbunyi; masyarakat sebagai mitra pemerintah yang berkesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta dalam dunia pendidikan nasional, implikasi kerja yang sama erat antara orang tua dan sekolah.[2]
Adapun usaha yang dapat dilakukan antara orang tua dan sekolah yaitu:
1.      Membina dan menggambarkan saling pengertian dalam membina.
Prakarsa datang dari sekolah, karena sekolah yang paling mengetahui segala sesuatu yang berkenaan dengan kegiatan yang akan dilaksanakan dalam rangka pendidikan anak, dan tentang peraturan-peraturan yang menjadi dasar dari kegiatan. Pembinaan yang dapat dilaksanakan itu adalah sebagai berikut:
a.  Mengumpulkan informasi latar belakang orang tua siswa;
b.  Mengadakan pertemuan dengan orang tua siswa;
c.  Memberikan informasi tentang keadaan, program dan peraturan sekolah kepada orang tua siswa.
d.  Mengunjungi ke tempat tinggal siswa (apabila diperlukan).
2.      Mendirikan wadah persatuan sekolah, dan orang tua yang efektif dan efesien.
Wadah ini anggota-anggotanya adalah seluruh orang tua wali murid, pimpinan sekolah, dan guru. Adapun tujuannya adalah:
a.    Merencanakan program kegiatan sekolah, baik kurikuler maupun ekstrakurikuler;
b.   Membina dan menumbuhkan saling pengertian dan kerjasama yang mantap antara sekolah dengan orang tua siswa;
c.    Mengusahakan dan mengembangkan sumber dana dan sarana yang diperlukan untuk pembinaan dan pengembangan pendidikan di sekolah yang bersangkutan.
Selain dari  itu, ada  beberapa  usaha yang dapat dilakukan diantaranya:
1)      Mengadakan program pendidikan bagi orang tua siswa;
2)      Mengadakan kunjungan sekolah dan observasi;
3)      Mengadakan berbagai kegiatan dan pembinaan pengembangan minat dan kebiasaan membaca.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa partisipasi orang tua dalam pendidikan sangat perlu untuk memotivasi serta membantu dalam proses belajar guna mencapai keberhasilan siswa dalam kegiatan yang dilakukan.

Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa


PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Persoalan budaya dan karakter bangsa kini menjadi sorotan tajam masyarakat. Sorotan itu mengenai berbagai aspek kehidupan, tertuang dalam berbagai tulisan di media cetak, wawancara, dialog, dan gelar wicara di media elektronik. Selain di media massa, para pemuka masyarakat, para ahli, dan para pengamat pendidikan, dan pengamat sosial berbicara mengenai persoalan budaya dan karakter bangsa di berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan, perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupn politik yang tidak produktif, dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat di media massa, seminar, dan di berbagai kesempatan. Berbagai alternatif penyelesaian diajukan seperti peraturan, undang-undang, peningkatan upaya pelaksanaan dan penerapan hukum yang lebih kuat.
Alternatif lain yang banyak dikemukakan untuk mengatasi, paling tidak mengurangi, masalah budaya dan karakter bangsa yang dibicarakan itu adalah pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif karena pendidikan membangun generasi baru bangsa yang lebih baik. Sebagai alternatif yang bersifat preventif, pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi muda bangsa dalam berbagai aspek yang dapat memperkecil dan mengurangi penyebab berbagai masalah budaya dan karakter bangsa. Memang diakui bahwa hasil dari pendidikan akan terlihat dampaknya dalam waktu yang tidak segera, tetapi memiliki daya tahan dan dampak yang kuat di masyarakat.
Kurikulum adalah jantungnya pendidikan (curriculum is the heart of education). Oleh karena itu, sudah seharusnya kurikulum, saat ini, memberikan perhatian yang lebih besar pada pendidikan budaya dan karakter bangsa dibandingkan kurikulum masa sebelumnya. Pendapat yang dikemukakan para pemuka masyarakat, ahli pendidikan, para pemerhati pendidikan dan anggota masyarakat lainnya di berbagai media massa, seminar, dan sarasehan yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan Nasional pada awal tahun 2010 menggambarkan adanya kebutuhan masyarakat yang kuat akan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Apalagi jika dikaji, bahwa kebutuhan itu, secara imperatif, adalah sebagai kualitas manusia Indonesia yang dirumuskan dalam Tujuan Pendidikan Nasional. Kepedulian masyarakat mengenai pendidikan budaya dan karakter bangsa telah pula menjadi kepedulian pemerintah. Berbagai upaya pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa telah dilakukan di berbagai direktorat dan bagian di berbagai lembaga pemerintah, terutama di berbagai unit Kementrian Pendidikan Nasional. Upaya pengembangan itu berkenaan dengan berbagai jenjang dan jalur pendidikan walaupun sifatnya belum menyeluruh. Keinginan masyarakat dan kepedulian pemerintah mengenai pendidikan budaya dan karakter bangsa, akhirnya berakumulasi pada kebijakan pemerintah mengenai pendidikan budaya dan karakter bangsa dan menjadi salah satu program unggulan pemerintah, paling tidak untuk masa 5 (lima) tahun mendatang. Pedoman sekolah ini adalah rancangan operasionalisasi kebijakan pemerintah dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.
B.     Pengertian Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Untuk mendapatkan wawasan mengenai arti pendidikan budaya dan karakter bangsa perlu dikemukakan pengertian istilah budaya, karakter bangsa, dan pendidikan. Pengertian yang dikemukakan di sini dikemukakan secara teknis dan digunakan dalam mengembangkan pedoman ini. Guru-guru Antropologi, Pendidikan Kewarganegaraan, dan mata pelajaran lain, yang istilah-istilah itu menjadi pokok bahasan dalam mata pelajaran terkait, tetap memiliki kebebasan sepenuhnya membahas dan berargumentasi mengenai istilah-istilah tersebut secara akademik.
Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan itu digunakan dalam kehidupan manusia dan menghasilkan sistem sosial, sistem ekonomi, system kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi, seni, dan sebagainya. Manusia sebagai makhluk sosial menjadi penghasil sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan; akan tetapi juga dalam interaksi dengan sesama manusia dan alam kehidupan, manusia diatur oleh sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan yang telah dihasilkannya. Ketika kehidupan manusia terus berkembang, maka yang berkembang sesungguhnya adalah sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, ilmu, teknologi, serta seni. Pendidikan merupakan upaya terencana dalam mengembangkan potensi peserta didik, sehingga mereka memiliki sistem berpikir, nilai, moral, dan keyakinan yang diwariskan masyarakatnya dan mengembangkan warisan tersebut ke arah yang sesuai untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang.
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam ligkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang berangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter  bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial,budaya masyarakat, dan budaya bangsa.
Lingkungan sosial dan budaya bangsa adalah Pancasila; jadi pendidikan budaya dan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain, mendidik  budaya dan karakter bangsa adalah mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada diri peserta didik melalui pendidikan hati, otak, dan fisik. Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik. Pendidikan adalah juga suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan. Keberlangsungan itu ditandai olehpewarisan budaya dan karakter yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan adalah proses pewarisan budaya dan karakter bangsa bagi generasi muda dan juga proses pengembangan budaya dan karakter bangsa untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa di masa mendatang. Dalam proses pendidikan budaya dan karakter bangsa, secara aktif peserta didik mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat.
Berdasarkan pengertian budaya, karakter bangsa, dan pendidikan yang telah dikemukakan di atas maka pendidikan budaya dan karakter bangsa dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warganegara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif .
Atas dasar pemikiran itu, pengembangan pendidikan budaya dan karakter sangat strategis bagi keberlangsungan dan keunggulan bangsa di masa mendatang. Pengembangan itu harus dilakukan melalui perencanaan yang baik, pendekatan yang sesuai, dan metode belajar serta pembelajaran yang efektif. Sesuai dengan sifat suatu nilai, pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah usaha bersama sekolah; oleh karenanya harus dilakukan secara bersama oleh semua guru dan pemimpin sekolah, melalui semua mata pelajaran, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya sekolah.
C.    Landasan Pedagogis Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Pendidikan adalah suatu upaya sadar untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal. Usaha sadar itu tidak boleh dilepaskan dari lingkungan peserta didik berada, terutama dari lingkungan budayanya, karena peserta didik hidup tak terpishkan dalam lingkungannya dan bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah budayanya. Pendidikan yang tidak dilandasi oleh prinsip itu akan menyebabkan peserta didik tercerabut dari akar budayanya. Ketika hal ini terjadi, maka mereka tidak akan mengenal budayanya dengan baik sehingga ia menjadi orang “asing” dalam lingkungan budayanya. Selain menjadi orang asing, yang lebih mengkhawatirkan adalah dia menjadi orang yang tidak menyukai budayanya.
Budaya yang menyebabkan peserta didik tumbuh dan berkembang, dimulai dari budaya di lingkungan terdekat (kampung, RT, RW, desa) berkembang ke lingkungan yang lebih luas yaitu budaya nasional bangsa dan budaya universal yang dianut oleh  ummat manusia. Apabila peserta didik menjadi asing dari budaya terdekat maka dia tidak mengenal dengan baik budaya bangsa dan dia tidak mengenal dirinya sebagai anggota budaya bangsa. Dalam situasi demikian, dia sangat rentan terhadap pengaruh budaya luar dan bahkan cenderung untuk menerima budaya luar tanpa proses pertimbangan (valueing). Kecenderungan itu terjadi karena dia tidak memiliki norma dan nilai budaya nasionalnya yang dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan pertimbangan (valueing).
Semakin kuat seseorang memiliki dasar pertimbangan, semakin kuat pula kecenderungan untuk tumbuh dan berkembang menjadi warga negara yang baik. Pada titik kulminasinya, norma dan nilai budaya secara kolektif pada tingkat makro akan menjadi norma dan nilai budaya bangsa. Dengan demikian, peserta didik akan menjadi warga negara Indonesia yang memiliki wawasan, cara berpikir, cara bertindak, dan cara menyelesaikan masalah sesuai dengan norma dan nilai ciri ke-Indonesiaannya. Hal ini sesuai dengan fungsi utama pendidikan yang diamanatkan dalam UU Sisdiknas, “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Oleh karena itu, aturan dasar yang mengatur pendidikan nasional (UUD 1945 dan UU Sisdiknas) sudah memberikan landasan yang kokoh untuk mengembangkan keseluruhan potensi diri seseorang sebagai anggota masyarakat dan bangsa.
Pendidikan adalah suatu proses enkulturasi, berfungsi mewariskan nilai-nilai dan prestasi masa lalu ke generasi mendatang. Nilai-nilai dan prestasi itu merupakan kebanggaan bangsa dan menjadikan bangsa itu dikenal oleh bangsa-bangsa lain. Selain mewariskan, pendidikan juga memiliki fungsi untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan prestasi masa lalu itu menjadi nilai-nilai budaya bangsa yang sesuai dengan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, serta mengembangkan prestasi baru yang menjadi karakter baru bangsa. Oleh karena itu, pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan inti dari suatu proses pendidikan. Proses pengembangan nilai-nilai yang menjadi landasan dari karakter itu menghendaki suatu proses yang berkelanjutan, dilakukan melalui berbagai mata pelajaran yang ada dalam kurikulum (kewarganegaraan, sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, bahasa Indonesia, IPS, IPA, matematika, agama, pendidikan jasmani dan olahraga, seni, serta ketrampilan).
Dalam mengembangkan pendidikan karakter bangsa, kesadaran akan siapa dirinya dan bangsanya adalah bagian yang teramat penting. Kesadaran tersebut hanya dapat terbangun dengan baik melalui sejarah yang memberikan pencerahan dan penjelasan mengenai siapa diri bangsanya di masa lalu yang menghasilkan dirinya dan bangsanya di masa kini. Selain itu, pendidikan harus membangun pula kesadaran, pengetahuan, wawasan, dan nilai berkenaan dengan lingkungan tempat diri dan bangsanya hidup (geografi), nilai yang hidup di masyarakat (antropologi), sistem sosial yang berlaku dan sedang berkembang (sosiologi), system ketatanegaraan, pemerintahan, dan politik (ketatanegaraan/politik/ kewarganegaraan), bahasa Indonesia dengan cara berpikirnya, kehidupan perekonomian, ilmu, teknologi, dan seni. Artinya, perlu ada upaya terobosan kurikulum berupa pengembangan nilai-nilai yang menjadi dasar bagi pendidikan budaya dan karakter bangsa. Denganterobosan kurikulum yang demikian, nilai dan karakter yang dikembangkan pada diri peserta didik akan sangat kokoh dan memiliki dampak nyata dalam kehidupan diri, masyarakat, bangsa, dan bahkan umat manusia.
Pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai atau kebajikan yang menjadi nilai dasar budaya dan karakter bangsa. Kebajikan yang menjadi atribut suatu karakter pada dasarnya adalah nilai. Oleh karena itu pendidikan budaya dan karakter bangsa pada dasarnya adalah pengembangan nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup atau ideologi bangsa Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan nasional.
D.    Fungsi Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Fungsi pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah:
1.      pengembangan: pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik; ini bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya dan karakter bangsa;
2.      perbaikan: memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat; dan
3.      penyaring: untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.
E.     Tujuan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Tujuan pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah:
1.      mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa;
2.      mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius;
3.      menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa;
4.      mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan  yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).
F.     Nilai-nilai dalam Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa diidentifikasi dari sumber-sumber berikut ini.
1.      Agama: masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.
2.      Pancasila: negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara.
3.      Budaya: sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antaranggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.
4.      Tujuan Pendidikan Nasional: sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Berdasarkan keempat sumber nilai itu, teridentifikasi sejumlah nilai untuk pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai berikut ini.

Tabel 1. Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangs
1. Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4. Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh
pada berbagai ketentuan dan peraturan.
5. Kerja Keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh
dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas,
serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
6. Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara
atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada
orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

MINDSET SEKOLAH BERMAKNA BAGI ANAK

Apa yang harus siswa siapkan berdasarkan Standar Kompetensi Lulusan Memiliki Kompetensi pada dimensi sikap Bertakwa ...